GKJ Karangjoso (Kyai Sadrach) - GKJ Tertua di Pulau Jawa


Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangjoso yang terletak di Kecamatan Butuh Kabupaten Purworejo ini merupakan Gereja Kristen Jawa tertua di Pulau Jawa. Gereja ini dibangun oleh Kyai Sadrach pada saat Indonesia berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Bagaimana jemaat Kristen Indonesia perdana terbentuk itu pun mengalami perjalanan yang panjang. Pada saat itu, Kyai Sadrach tidak menganut agama Kristen. Dalam iman yang bercampur dengan keyakinan Kejawen, suatu saat beliau memperoleh mimpi yang tidak biasa. Mimpi itu diterjemahkan oleh seorang Kristen dalam sebuah kalimat kutipan Yohanes 11 : 25. Ayat itulah yang menjadi dasar Kyai Sadrach untuk meyakini bahwa selama ini Sang Juruselamat-lah yang sering menjumpainya melalui mimpi.

Untuk itu, beliau berikrar untuk mengabarkan kabar gembira ini kepada masyarakat sekitar. Karena berbasis Kejawen, maka pendirian Gereja maupun metode penyampaian Injil juga berpenampilan Jawa. Dapat terlihat di atas, Gereja berbentuk menyerupai joglo dengan atap bertingkat tiga. Jika dilihat sepintas, bangunan tersebut mirip dengan masjid. Hanya saja Mustaka yang terletak di atap diganti dengan tanda Salib. Salibnya pun berbeda, tidak seperti yang biasa kita lihat di gereja-gereja yang berbentuk tanda †. Salibnya merupakan persilangan antara senjata Cakra (milik Prabu Kresna) dan panah Pasopati (milik Arjuna). Di mana masing-masing senjata itu memiliki makna yang identik dengan tanda Salib.


Dalam mengabarkan berita suka cita, Kyai Sadrach bahkan menggunakan wayang dan tembang-tembang Jawa. Bahkan doa "Bapa Kami" pun disulap menjadi tembang Macapat berjudul "Pucung Pandonga Rama Kawula". Dengan cara akulturasi budaya ini, maka jemaat Kristiani berkembang dengan pesat. Akan tetapi, cara ini tidak disukai oleh Zending (hierarki Gereja Kristen Eropa - Belanda). Terjadi pertentangan antara Zending dengan Kyai Sadrach pada masa itu. Meskipun demikian, Kyai Sadrach tidak berputus asa. Beliau tetap meneruskan kabar suka cita ini dengan cara beliau. Jemaat yang semula kecil, terus bertambah dan hingga kini dikenal dengan "Gereja Kristen Jawa".

Museum


Di belakang gereja, terdapat sebuah pendopo kecil yang menjadi teras rumah Kyai Sadrach pada masa lalu. Rumah tersebut kini difungsikan sebagai museum bukti sejarah napak tilas Kyai Sadrach di Purworejo. Di sana terdapat ruang tempat Kyai Sadrach berdialog, meja tempat Kyai Sadrach menulis dan menyiapkan khotbah, hingga tempat tidur Kyai. Peninggalan-peninggalan beliau pun tersimpan dengan rapi di ruangan kecil bernuansa Jawa.

Di sekitar gereja dan museum, terdapat rumah retreat dan tempat tinggal anak angkat Kyai Sadrach beserta keturunan-keturunannya. Mereka lah yang menjadi "juru kunci" gereja Kyai Sadrach yang kini disebut dengan GKJ Karangjoso.

Anda tertarik ke sini?

Penutup

Pernah terdengar anggapan bahwa agama Kristen masuk melalui penjajahan. Itulah mengapa yang menjadi salah satu latar belakang perpecahan agama yang terjadi di Indonesia. Padahal, menurut yang saya dapat dari tempat ini: memang benar bahwa agama Kristen (baik Katolik maupun Protestan) masuk bersamaan dengan penjajahan. Tidak seperti agama Islam yang masuk melalui dakwah atau dengan cara yang lebih baik ketimbang penjajahan, maupun agama Hindu dan Buddha yang berkembang pada jaman perdagangan. Akan tetapi dapat terlihat bahwa masuknya agama Kristen ada yang melalui akulturasi budaya.

Sebagai contoh, pastor Van Lith yang menyebarkan agama Katolik bahkan tidak melakukan cara-cara kolonial atau pun pemaksaan. Akan tetapi, dengan melakukan akulturasi budaya Jawa, lahirlah masyarakat Katolik ala Jawa di daerah Muntilan. Di sana kemudian didirikan Gua Maria Sendangsono. Tidak jauh berbeda dengan Kyai Sadrach yang menyebarkan agama Protestan melalui akulturasi dengan budaya Jawa. Semangat yang mereka kobarkan bukanlah niat untuk memaksakan kehendak atau pun ideologi. Mereka hanya bersaksi mengenai kebenaran yang mereka terima.

Bagi saya pribadi, masing-masing agama memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing. Masalah kebenaran bukanlah yang menjadi prioritas, karena itu menjadi hak pribadi kita masing-masing. Akan tetapi, baiklah kita menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan agama menurut apa yang kita sukai. Karena kedamaian akan kita peroleh dengan sendirinya ketika kita memperoleh kenikmatan dalam menjalankan apa yang sudah kita pilih.

Komentar

  1. Kebenaran itu satu, tidak ada dua. Sesungguhnya bagi para peminat memiliki kebenaran, memahaminya, menghayatinya dan bekerja bersama-sama kebenaran itu seharusnya semakin terbuka untuk saling komunikasi ataupun dialog dialam Indonesia ini. Pada waktu itu Kyai Sadrach dan Zending Belanda sangat berbeda latar belakang budaya. Bukan tidak mungkin terbersit dalam hati para Zending itu merasa kalah meskipun mendapat perlindungan penjajah yang berkuasa. Kyai Zadrach membuka nilai2 kemerdekaan yang hakiki dan inilah yang ditakuti oleh pihak2 yang memiliki latar belakang yang berbeda. Yang satu putra terjajah tapi menjadi merdeka sementara zending mau tidak mau berpihak mental penjajah. Meskipun diantara Zending ada yang berpikir jernih dan obyektif terhadap Kyai Sadrach(tapi kalah suara). Kesempatan besar bagi Indonesia membuka dialog bagi siapapun dan agama apapun yang telah dimulai oleh Kyai Sadrach ini. Bukankah semua agama2 di Indonesia ini impor?

    BalasHapus
  2. Setuju sekali mas Wirjanta... :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Mari berbagi cerita